Ulu-Ilir-Institute - Seni, Budaya, Spiritualitas

+62 838 0128 9648 (juga untuk WA)

office@ulu-ilir-institute.org

Ulu-Ilir-Institute Jl. Talang Kerangga No. 25 30 Ilir, Ilir Barat II

Palembang - Indonesia

123 456 789

info@example.com

Goldsmith Hall

New York, NY 90210

07:30 - 19:00

Monday to Friday

Ulu-Ilir-Institute - Seni, Budaya, Spiritualitas

Pameran Rentak Batang Hari di Palembang

Tanggal 11 November diadakan acara yang sangat penting dan signifikan untuk perkembangan seni dan budaya di Palembang dan seluruh Sumatra Selatang, yaitu pembukaan pameran se-SemSul “Rentak Batang Hari” yang diikuti lebih dari 30 seniman dari seluruh propinsi Sumatra Selatan.

Pendiri Ulu-Ilir-Institute dan seniman, Askanadi, juga mengikutkan dua buah lukisan yaitu “Air Berkisah” dan “Bilik Cinta”. Scholar in residence kami, Dr. Claudia diundang untuk menulis tulisan kuratorial kedua disamping tulisan kuratorial pertama yang ditulis oleh Dr. Erwan Suryanegara. Tulisan kuratorial juga bisa dibaca disini:

 

Potensi Kesenian di Tepi Batang Hari
Pameran “Rentak Batang Hari” di Taman Budaya Palembang
oleh Claudia Seise

Atas Air (2008)

Gelombang yang disebabkan perahuku
memberikan perasaan akan bebas.

Setiap kali aku menyeberang sebuah sungai,
kutinggalkan sesuatu
dan kurasa tak pernah akan kembali.

Apakah kuingin kembali?
Sinar matahari membakar ingatanku.

Aku sampai ke sebuah penyeberangan,
yang hanya mengarahkanku ke yang berikutnya.

Setiap penyeberangan mempunyai
Makna filosofis yang dalam.

Makna setiap orang merasa
Saat hidupnya mengganti arah.

Menurut filsuf, pemikir dan sejarahwan Islam Ibn Khaldun (1332-1406) peradabaan adalah sebuah fenomena yang muncul ketika sekelompok manusia sudah melewati tahap badui dan tahap agresi. Sebuah peradabaan bisa muncul kalau adalah sekelompok manusia yang relatif besar yang memilih untuk hidup di lingkungan perkotaan. Ada juga spesialisi kerja dan ada makanan dan kekayaan yang lebih daripada yang diperlukan untuk pertahan hidup. Di samping itu juga ada sistem pendidikan yang cukup formal yang digunakan oleh penduduk wilayah itu untuk belajar. Wilayah Indonesia dan khususnya wilayah Sumatra Selatan dengan ibukota Palembang sudah cukup lama memiliki peradaban yang cukup signifikan untuk sejarah Indonesia, Asia bahkan dunia. Para ulama dan pedagang dari wilayah Hadhramaut di Yaman mengenal wilayah SumSel dengan nama Falembang. Pada zaman itu, popularitas Palembang cukup global. Peradabaan yang cukup hebat dan signifikan di wilayah SumSel mempunyai sejarah yang cukup panjang. Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam adalah dua contoh yang menonjol.

Apa saja yang jadi bagian dari sebuah peradaban? Adalah delapan faktor yang penting untuk kita perhatikan biar bisa disebutkan sebuah peradaban memang sebagai peradaban. Delapan faktor adalah: keadaan akan kota dan sistem kepemerintahan, agama dan struktur sosial, tulisan dan seni, bahasa dan makanan yang unik. Melihat provinsi Sumatera Selatan zaman sekarang, semua faktor tersebut terpenuhi: kita mempunyai kota dengan sebuah pemerintah, ada agama dan struktur sosial yang cukup bagus dan berjalan dengan baik. Kita ada banyak makanan khas dan kita juga ada bahasa-bahasa untuk mengungkapkan pikiran, keperluan dan emosi kita. Bagaimana dengan faktor tulisan dan seni? Apakah bidang seni di SumSel cukup muncul, diperhatikan dan memainkan peran penting dalam membentuk dan mempengaruhi budaya, peradaban, kehidupan dan pemikiran setempat? Apakah masyarakat kita tahu tentang seni kontemporer Sumatera Selatan? Apakah mereka pernah berkunjung ke sebuah pameran seni kekinian? Apakah kita sanggup mengajarkan anak kita tentang seniman-seniman (dan tentu seniwati) SumSel? Menurut pengalaman dan perhatian saya yang sangat terbatas ini, saya kira kita masih mempunyai potensi untuk mengembangkan bidang kesenian kontemporer untuk menjadi bagian nyata dan riil dalam peradaban, budaya dan identitas Sumatera Selatan.

Potensi kesenian dan kebudayaan di Sumatera Selatan sangat besar. Pameran “Rentak Batang Hari” yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Sriwijaya mengundang seniman dari seluruh Sumatera Selatan. Pameran ini menunjukkan bahwa kita memiliki potensi kesenian yang luar biasa untuk menguatkan dan mengkokohkan identitas SumSel sebagai provinsi yang bersejarah dan berperadaban. Provinsi yang kaya akan ekpresi-ekpresi seni dan budaya di zaman yang cenderung memiliki teknologi dibanding seni. Zaman dimana manusia memiliki simbol status berupa mobil, hp, laptop atau gadget-gadget lainnya. Pertanyaan yang muncul kalau kita melihat perkembangan ini adalah: Apakah teknologi dan gadget-gadget bisa mendidik anak kita tentang sejarah, budaya dan seni mereka? Apakah mereka bisa mengembangkan sebuah identitas yang unik dan mencerminkan kekhasan sebuah daerah? Apakah anak-anak kita akan merasa keterikatan emosional dengan daerah dan provinsi melalui interaksi dengan gadget-gadget tersebut?

Menurut saya, tidak. Anak-anak zaman sekarang makin tidak tahu identitasnya. Mereka bingung dan akar kebudayaan dan kelokalan mereka tidak lagi menembus tanah nenek moyang mereka. Seni lokal kontemporer, seperti bisa disaksikan dalam pameran “Rentak Batang Hari” bisa jadi salah satu solusi untuk mengakarkan generasi muda kita dalam kearifan dan kebudayaan lokal dengan modern touch yang selalu diinginkan oleh generasi millennial ini. Untuk mencapai tujuan ini, seniman-seniman kontemporer SumSel mesti diberi kesempatan untuk memainkan peran penting untuk membentuk dan mempengaruhi kebudayaan lokal. Karya-karya mereka sangat layak dikoleksi dan dijadikan bukti dan tanda kebudayaan SumSel di hari-hari yang akan datang. Entah itu di koleksi-koleksi pribadi atau koleksi-koleksi umum/ negara. Kalau kita ingin mendidik anak-anak kita di masa depan tentang kebudayaan lokal yang riil dan nyata, kita harus mulai hari ini. Biar di kemudian hari anak-anak kita bisa mengapresiasikan karya-karya seniman provinsi mereka sendiri dan biar karya-karya lokal ini tidak hilang bersama waktu. Alangkah bagusnya kalau provinsi SumSel bisa memiliki koleksi karya seni kontemporer lokal biar di masa yang akan datang memiliki bukti sejarah berupa lukisan atau karya seni murni lainnya.

Karya-karya yang dipamerkan di pameran se-SumSel ini cukup unik dan tidak bisa dibicarakan satu per satu di tulisan singkat ini. Tetapi saya ingin memberi beberapa contoh bagaimana karya pameran ini bisa memainkan peran penting dalam membentuk dan mengkokohkan identitas provinsi Sumatera Selatan melalui media seni. Karya Andreans dengan judul “Legenda Batu Kuning” adalah contoh karya yang mencerminkan kearifan lokal dengan cermat dan secara illustratif. Seniman hampir seolah-olah ingin menangkap simbol-simbol dan ingatan-ingatan dari budaya Sumatera Selatan yang pelan-pelan hilang. Lukisan seperti ini mempunyai peran penting untuk melestarikan kebudayaan dan kearifan lokal untuk generasi yang akan datang. Rumah limas, kehidupan pendesaan, musik tradisional atau silat adalah bentuk-bentuk kebudayaan lokal yang akan hilang dari identitas penduduk wilayah ini kalau tidak dilestarikan. Gadget-gadget dan media-sosial sudah jadi budaya anak-anak di kota maupun di kampung.
Mirip dengan karya Andreans dari segi pesan yang terkandung di dalamnya tetapi sangat beda dengan cara ekspresi dan media adalah karya Suparman “Maintain Balance” (Menjaga Keseimbangan). Dengan media seni patung Suparman mengungkapkan sebuah gejala yang mengancam kita semua di zaman ini. Pertanyaan yang muncul dari karya Suparman adalah: Bagaimana kita bisa menyeimbangkan identitas, termasuk kebudayaan dan kearifan lokal kita dengan pengaruh budaya global yang seolah-olah akan menjatuhkan/ menghancurkan identitas lokal kita. Di karya Suparman sebuah figur berjalan diatas mainan tradisional dan berusaha untuk menjaga keseimbangan. Itu menyimbolkan kebudayaan dan kearifan lokal. Sementara sebuah boneka dari budaya global (barat) berusaha untuk naik dan menjatuhkan boneka di atas tersebut. Simbolisme yang ada dalam karya Suparman ini sangat mencerminkan gejala yang dirasakan oleh banyak negara-negara dan budaya-budaya tradisional, termasuk daerah provinsi Sumatera Selatan.

Karya Rudi Maryanto “Bahtera Sungai Putih” melihatkan sebuah industri kerajinan kayu yang bisa kita ketemu di bagian Sumatera Selatan, yaitu pembuatan ketek. Industri kerajinan kayu ini, walaupun masih berjalan dan dibutuhkan, mengalami tantangan-tantangan tersendiri. Kayu yang menjadi bahan dasar ketek atau speedboat makin mahal dikarenakan penambangan secara ukuran masif, legal atau illegal, yang menghilangkan hutan sangat cepat. Selain mengakibatkan harga kayu naik secara drastis, hilangnya hutan juga mempengaruhi klima, suhu dan kwalitas udara lokal maupun global. Di karya Rudi dapat melihat trend baru lainnya yaitu hilangnya budaya tradisional dan way of life tradisional secara perlahan. Latarbelakang di karya Rudi nampaknya cuma hitam-putih seolah-olah rumah tradisional sudah menjadi bagian sejarah yang hanya exist di foto-foto hitam-putih lama. Karena rumah tradisional pun sulit dibangun baru karena harga kayu begitu mahal. Melestarikan saja pun kadang terlalu mahal.
Askanadi, seniman asli SumSel yang banyak pengalaman diluar negeri, kembali ke bumi Palembang Darussalam dan mengikuti dua buah lukisan abstrak di pameran ini. Di dalam karya “Air Berkisah”, Askanadi menjadikan sungai Musi sebagai objek renungan. Air yang dilukis secara simbolis dengan garis-garis abu-abu seolah-olah dibingkai dalam ingatan di dunia yang penuh kekacauan. Merah menyimbolkan kekuatan bumi Sriwijaya yang kita tahu dari sejarah. Dan air menjadi alur yang hanya dikuasai sepenuhnya oleh Tuhan Yang Maha Esa. Air mempunyai simbolis kuat dalam tradisi Tasawwuf yang kental di provinsi Sumatera Selatan ini. Dan bidang-bidang di lukisan Askanadi seolah-olah menyimbolkan mesjid-mesjid yang secara tradisional dibangun di tepi sungai Musi.
Usah Kismada melanjutkan tradisi kaligrafi yang sudah menjadi bagian berkesenian Nusantara. Kaligrafi “Surah Al-Ikhlas Ayat Satu” dengan gaya cukup kontemporer mencerminkan kepentingan agama Islam di bumi Sriwijaya. Di waktu yang sama melihatkan bahwa agama Islam bukanlah agama yang kuno tetapi sanggup dijalankan di setiap zaman, di setiap tempat dan oleh semua manusia, entah dia orang Asia atau Afrika, orang Cina atau Jerman, orang berpendidikan atau orang kuli bangunan, orang kaya atau miskin.

Menurut seniman Rusia Wassily Kandinsky (1866-1944) setiap karya seni adalah hasil dari zamannya dimana karya tersebut diciptakan. Tetapi menurutnya juga, karya seni mesti memiliki potensi untuk mempengaruhi masa depannya. Maksudnya, seni tersebut juga harus menjadi seorang ibu untuk membentuk masa depan. Seni yang tidak memiliki sifat ‘keibuan’ tersebut adalah seni yang mandul. Karya seni yang dipamerkan di Taman Budaya Palembang di pameran “Rentak Batang Hari” memiliki potensi ‘keibuan’ tersebut. Seniman SumSel ini sanggup mempengaruhi dan mengkokohkan identitas masyarakat SumSel. Hanya saja para seniman SumSel mesti diberi apresiasi yang lebih dalam dan yang lebih serius untuk menjalankan perannya yang diberikan karena sudah menjadi seniman. Peran yang dilengkapi tanggungjawab sebagai seorang seniman untuk menciptakan bagian dari peradaban, yaitu kebudayaan dan kesenian lokal, nasional dan global untuk mempengaruhi masa yang akan datang.

Selamat berpameran dan selamat menyaksikan karya-karya seniman Sumatera Selatan!